Rapor Tinggi, Kemampuan Rendah: Apa yang Sebenarnya Sedang Kita Ajarkan?
|  | 
| Pernahkah siswa buka "Ruang Murid" pada "Platform Rumah Pendidikan"? | 
Masih banyak siswa yang belum mengenal platform "Rumah Pendidikan", padahal platform ini merupakan salah satu solusi yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Platform ini hadir untuk membantu siswa, guru, dan kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Sayangnya, hingga kini masih banyak yang belum memahami bahkan belum pernah mengaksesnya. Tak jarang, guru pun tidak pernah membuka platform ini, apalagi siswanya.
Bagaimana siswa bisa memiliki keterampilan dalam ilmu pengetahuan jika platform pembelajaran saja tidak pernah dimanfaatkan? Banyak siswa sebenarnya memiliki akses internet, tetapi yang mereka buka justru media sosial seperti YouTube, Facebook, TikTok, atau bahkan menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game.
Ironisnya, mereka sangat terampil saat bermain game, tetapi nilai akademiknya rendah. Misalnya, ketika diuji secara objektif, nilainya hanya 30, namun yang tertulis di rapor bisa mencapai 85. Fenomena ini benar-benar terjadi. Bukan hanya satu atau dua siswa, bahkan bisa dikatakan sudah menjadi hal yang umum. Nilai siswa terpaksa dilambungkan demi syarat naik kelas atau kelulusan.
| https://rumah.pendidikan.go.id/ruang/murid | 
Saya masih ingat jelas suasana kelas di awal tahun 1998-an. Kala itu, mendapatkan nilai 7 di rapor sudah terasa membanggakan. Jika bisa meraih 8, itu sudah termasuk luar biasa. Hanya segelintir siswa yang berhasil mencetak angka 9, dan mereka betul-betul dikenal sebagai anak-anak pintar. Nilai-nilai itu bukan sekadar angka, tapi hasil dari kerja keras, kedisiplinan, dan pemahaman yang nyata. Guru-guru kami menilai dengan tegas, bahkan kadang tanpa kompromi. Tidak ada toleransi untuk siswa yang bermalas-malasan. Tinggal kelas adalah hal biasa, dan lulus adalah pencapaian, bukan hadiah.
Kini, situasinya jauh berbeda. Rapor siswa di zaman sekarang penuh dengan angka-angka indah: 85, 90, bahkan 98. Namun, apakah nilai-nilai itu benar-benar mencerminkan kemampuan? Banyak guru yang mengakui, mereka tidak lagi menilai secara murni. Tekanan dari berbagai arah membuat mereka "melunakkan" standar. Sekolah berharap semua siswa naik kelas demi data keberhasilan. Orang tua sering kali bereaksi keras saat anaknya mendapat nilai rendah. Sementara guru terjebak di tengah, berusaha mempertahankan integritas, namun juga ingin mempertahankan hubungan baik dengan semua pihak.
Akibatnya, angka di rapor menjadi sekadar formalitas. Nilai bukan lagi cermin dari proses belajar, melainkan simbol pencitraan. Siswa pun mulai terbiasa dengan keberhasilan instan—naik kelas tanpa perjuangan berat, lulus tanpa tantangan nyata. Bagi sebagian besar anak, nilai bagus sudah dianggap hak, bukan hasil. Sedikit demi sedikit, rasa bangga terhadap prestasi yang otentik mulai menghilang.
Situasi ini menjadi lebih jelas saat Indonesia mengikuti ujian internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment). Di sinilah kemampuan berpikir kritis, pemahaman bacaan, logika matematika, dan penerapan sains diuji. Dan sayangnya, hasil kita masih sangat rendah. Pada PISA 2022, Indonesia hanya mencetak skor 359 untuk membaca, 366 untuk matematika, dan 383 untuk sains. Skor ini menempatkan kita di peringkat 71 dari 81 negara. Dibanding rata-rata negara maju di kisaran 480-an, kita tertinggal sangat jauh.
PISA tidak bisa dimanipulasi. Ia tidak menilai seberapa banyak hafalan siswa, tapi seberapa dalam pemahaman mereka terhadap realitas, logika, dan solusi kehidupan nyata. Dan di sini kita sering gagal. Bukan karena anak-anak kita bodoh, mereka tidak. Tapi karena mereka dibesarkan dalam sistem yang lebih mengejar angka daripada makna, lebih menuntut hasil ketimbang proses.
Ironisnya, guru-yang seharusnya jadi penjaga kualitas pendidikan-sering kali berada dalam posisi sulit. Mereka tahu ada yang salah, tetapi dibatasi sistem. Tidak sedikit guru yang merasa lelah karena tuntutan administrasi dan standar penilaian yang justru menjauhkan mereka dari peran sejati sebagai pendidik. Ketika pendidikan lebih sibuk menyusun laporan ketimbang membimbing karakter, saat itulah nyala belajar benar-benar mulai padam.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ketimpangan masih sangat terasa. Di daerah terpencil, banyak siswa masih belajar tanpa listrik, buku yang layak, atau akses internet. Sementara di kota, siswa sibuk mengejar les tambahan dan nilai rapor tinggi. Tapi saat duduk bersama di ujian standar global, semuanya diuji dengan pertanyaan yang sama-dan saat itu, kenyataan tak bisa ditutupi lagi.
Lalu, apa yang sebenarnya sedang kita ajarkan pada anak-anak kita? Apakah kita sedang mendidik mereka untuk berpikir dan bertumbuh, atau sekadar melatih mereka tampil bagus di atas kertas? Pendidikan bukanlah kompetisi mempercantik angka. Ia adalah proses panjang membentuk manusia yang mandiri, beretika, dan mampu memecahkan masalah. Jika kita hanya sibuk mencetak lulusan dengan rapor tinggi tapi kemampuan minim, maka kita sedang menciptakan generasi yang rapuh menghadapi tantangan masa depan.
Kini saatnya jujur melihat ke dalam. Sudah waktunya kita beralih dari budaya pencitraan ke budaya pencerahan. Pendidikan yang sejati lahir dari kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk mengubah sistem yang keliru. Mari bersama menciptakan ruang belajar yang jujur, bermakna, dan membebaskan. Bukan hanya untuk nilai hari ini, tapi untuk masa depan bangsa ini.
Berdasarkan data Programme for International Student Assessment atau PISA, Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 80 negara dengan skor literasi membaca 359. Baca Kompas
Hasil PISA terbaru adalah hasil dari studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, yang dirilis pada Desember 2023. Penilaian seharusnya dilakukan pada tahun 2021, tapi terkendala pandemi COVID-19, pelaksanaannya mundur menjadi tahun 2022, dengan publikasi hasil pada tahun 2023 menurut Kompas.id.
PISA 2025 akan dirilis pada tahun 2026. .......Baca
Penulis:
S. Abdul Jalil Al-Idrus, M.Pd.
Referensi:
- 
OECD PISA 2018 & 2022 Results: https://www.oecd.org/pisa 
- 
Kemdikbudristek, Laporan Hasil Asesmen Nasional 2021 
- 
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Evaluasi Sistem Penilaian dan Kelulusan Nasional 






 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
.png) 
 
 
.png) 
0 komentar:
Posting Komentar